gmail Linkedin twitter instagram
  • Home
  • About
  • Contact

nabilatara

a little piece of my lovely journey♡


Berada di rumah dalam rentang waktu yang lama sering bikin bosan. Apalagi, seluruh aktivitas seolah-olah terintegrasi hanya dalam satu tempat, atau bahkan hanya dalam satu ruang saja. Mungkin sebagian orang lelah dan ingin cepat keluar. Namun pasti ada juga orang-orang yang menikmati dan waktu pandemi ini sebaik mungkin, termasuk aku. 

Kemarin aku mengikuti suatu webinar dari BEM fakultasku tentang kesehatan mental saat pandemi. Dalam webinar itu sempat menyinggung soal kepribadian extrovert adalah kepribadian yang cukup dirugikan karena merasa nggak nyaman berada dalam keadaan sepi pada waktu yang lama. Aku nggak tau tepatnya aku memliki kepribadian seperti apa, bisa jadi introvert, bisa jadi ambievert. Tapi yang jelas aku merasa bisa menikmati kondisi #dirumahaja seperti saat ini. Bagiku, tahun 2020 ini menjadi tahun baru yang bisa membuatku menemukan hal-hal berharga yang sebelumnya belum aku ketahui. 

Mengenal diri lebih dalam
Salah satu hal paling berharga yang kutemui saat masa pandemi adalah aku bisa belajar untuk mengenal diriku lebih dalam. Berawal dari mengingat kenangan-kenangan masa lalu sebelum pandemi yang sering buat kesal hingga menyalahkan diri sendiri. Atau ketika mengingat kegagalan-kegagalan yang pernah kuperbuat sampai bikin stres dan capek sendiri. Fase-fase itu kelihatannya sangat rumit di memori, tapi semakin lama memiliki waktu untuk merenungkannya, semakin baik juga kesempatan kita untuk refleksi dan memperbaiki. Aku berlajar sepakat dengan pernyataan bahwa 'kita nggak perlu malu dan benci dengan masa lalu kita karena bagaimanapun masa-masa itu menjadi bagian dari hidup kita'. Bahkan mungkin karena kita mampu melewati masa-masa sulit itu, kita jadi bisa menjadi seperti sekarang yang yakin nggak bakal jatuh dalam kesalahan yang sama seperti masa lalu. Atau lebih baiknya lagi, kesalahan dan kegagalan yang pernah terjadi dimasa lalu bisa menjadi hikmah dan pembelajaran bagi orang-orang sekitar kita yang termasuk didalamnya maupun yang sekedar tau. 

Selain itu, aku juga bisa mulai mengerti minatku dan menyusun timeline hidupku kedepannya. Dalam artian lain, aku jadi tau punya tujuan hidup. Mungkin hal itu terjadi karena ketika di rumah, aku hanya dihadapkan untuk fokus pada diriku, keluarga, kuliah dan organisasi. Sedangkan ketika hidup normal di luar, aku dihadapkan dengan bermacam-macam hal seperti bentuk akibat dari interaksi dengan orang banyak secara langsung dan aktivitas yang banyak membutuhkan energi sehingga hanya punya sedikit punya waktu untuk istirahat. Aku sadar bahwa saat itu aku belum memiliki manajemen waktu dan emosi yang baik sampai sering bikin kesal dan capek sendiri. Mungkin melalui pandemi ini, Allah memberiku kesempatan untuk beristirahat atas seluruh kegundahan hidupku sebelumnya. Dan...mungkin saat pandemi inilah aku bisa belajar mengatur diriku dalam hal waktu & emosi serta yang terpenting bisa mempersiapkan segala sesuatu dengan baik untuk menyambut kehidupan normal kembali. 

Lebih dekat dengan keluarga
Sebagai pelajar yang sudah merantau dari 8 tahun yang lalu, memiliki kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga menjadi sangat berharga. Kalau selama 8 tahun kebelakang ketemu keluarga hanya saat liburan semester dengan durasi sekitar 2 minggu sampai 1 bulan, kali ini tinggal dengan keluarga sudah lebih dari setengah tahun. Sebenarnya butuh adaptasi juga si karena sebelumnya sudah terbiasa tinggal sendirian, kali ini harus belajar buat hidup berdampingan. But, aku sangat bersyukur. Aku bahagia bisa menjalani kehidupan sehari-hariku dengan bertemu dan berbincang dengan keluargaku. Hua! Aku berharap bisa selalu bersama keluargaku, tapi aku juga berharap pandemi ini cepat selesai. Just hope for the best. 

Lebih mengenal teman-teman
Ini berlaku dari aku ke beberapa teman-temanku yang sebelumnya nggak begitu akrab. Kalau dulu saat kehidupan normal seringnya main sama teman-teman yang cuma akrab di circle masing-masing, kali ini aku ngerasa lebih akrab sama beberapa teman yang dulunya jauh. Mungkin kalau di kehidupan langsung ada rasa sungkan buat nge-akrabin diri, tapi disaat pandemi ini karena sering diskusi soal pelajaran jadi sering berhubungan dan kadang-kadang suka cerita tentang diri masing-masing. Sederhana, tapi aku ngerasa hal ini adalah satu manfaat yang aku dapat dari pembelajaran online karena pandemi. Aku berharap seterusnya bisa akrab dengan teman-teman dekatku saat pandemi ini. 

Kesempatan berkarya
Kalau nge-follow akun instagram info lomba-lomba pastinya nggak asing dengan update poster lomba setiap harinya. Sampai-sampai kalau mau ikut lomba suka bingung mau ikut yang mana. Menurutku masa pandemi ini ikut kompoteisi cocok banget buat siswa dan mahasiswa yang bingung mau ngapain tapi ingin produktif. Sebab dengan kondisi daring seperti ini, banyak lomba-lomba yang diadakan dengan biaya registrasi murah. Pun kalau diterima sebagai finalis, nggak perlu bayar pesawat mahal-mahal buat datang ke universitas yang mengadakan lomba tersebut karena saat ini presentasi finalis diadakan melalui platform meeting online. Selain itu, mengikuti kompetisi online juga bisa membuat kita terdorong untuk nggak rebahan dan main handphone aja di rumah. Ada deadline yang harus diperhatikan, ada tugas menyelesaikan karya untuk dikumpulkan. Mengikuti kompetisi nggak melulu soal ambisi untuk mendapatkan rewards. Sebab dengan mengikuti kompetisi kita bisa menambah pengetahuan dengan membaca berita, buku dan jurnal-jurnal serta hal serupa lain yang bisa kita dapat kalau mengikuti kompetisi kesenian. Namun, lomba bukan satu-satunya wadah untuk berkarya karena ada banyak banget jalan untuk berkarya selain itu. Jadi yang terpenting, walau pandemi seperti ini kita nggak boleh males-malesan dan harus tetap mengambil kesempatan untuk melakukan sesuatu bermanfaat. 

Karena nggak tau kapan pandemi ini akan berakhir, kita hanya perlu memanfaatkan masa pandemi ini untuk terus jadi bermanfaat. Kalau belum saatnya bermanfaat bagi orang lain, kita harus bisa minimal menjadi manfaat bagi diri kita sendiri. Sesederhana.. mengisi waktu dengan hal-hal positif. Sehingga nantinya ketika beberapa waktu ke depan ingin mengenang diri kita saat pandemi, kita memliki jejak-jejak positif yang disalurkan melalui jalan masing-masing. Semangat semuanya!

With Love, Tara.
Oktober 25, 2020 No komentar

Pernah nggak sih berpikir untuk berhenti usaha mencapai mimpi yang sudah disusun dengan matang? Mungkin karena lelah berusaha, atau.. lelah untuk survive di lingkungan yang nggak support dengan mimpi-mimpi yang dimiliki. Sebagai mahasiswa, sering dan bahkan dalam setiap harinya berhubungan dengan kedua hal itu. Bisa jadi soal ambisi dan mimpi pribadi, bisa jadi soal ambisi dan mimpi dari orang-orang sekitar yang terlihat di depan mata. 

Bolehkah memiliki ambisi?
Tanpa dijawab pun, semua orang pasti punya dan pernah berambisi. Nyatanya, ambisi adalah faktor terkuat yang membuat manusia bisa tekun berjuang untuk mencapai mimpi-mimpinya. Aku yakin orang-orang yang terlihat nggak punya jiwa-jiwa ambis atau hidupnya tampak mengalir aja pasti tetap punya ambisi yang mungkin disembunyikan. Entah sengaja, atau memang ingin terlihat hidup apa adanya. 

Takut berambisi
Menghadapi suatu kegagalan adalah hal yang memang berat. Kadang merasa sudah berusaha dengan maskimal, tapi hasil nggak sesuai yang diharapkan. Kemudian.. memustukan untuk berhenti berambisi. Memutuskan untuk mengalir aja tanpa ada tujuan dan keinginan yang kuat akan sesuatu. Setiap orang berbeda, ada yang benar-benar menata rencana hidupnya dengan tujuan-tujuan yang dimiliki. Ada juga yang terlalu pasrah sama hidup sampai-sampai nggak tau mau ngapain kedepannya. Bisa jadi karena trauma menghadapi kegagalan, atau lelah berusaha dan memikirkan semuanya. Padahal, ada baiknya kalau setiap orang semestinya punya pandangan tentang masa yang akan datang. Kalau bicara soal usaha dan hasil, setiap orang seharusnya berusaha dengan giat mencapai mimpi-mimpinya kemudian bersiap untuk tabah dengan hasilnya. Diibaratkan permukaan koin, hasil juga cuma punya 2 kemungkinan. Gagal atau berhasil. Manusia hanya perlu 'berusaha' dan 'bersiap' menerima hasilnya, apapun itu. 

Kalau sebelumnya adalah tentang takut berambisi karena takut gagal yang berasal dari diri sendiri, kali ini adalah soal takut berambisi karena orang lain. Nggak jarang bertemu dengan kondisi dimana ada orang yang terlalu sibuk mengurusi mimpi dan ambisi orang lain, sampai-sampai jadinya menjatuhkan. Se-simple celetukan 'apaan sih ambis banget' hingga 'udah deh nggak usah bermimpi terlalu tinggi'. Mungkin ada perasaan nggak suka lihat orang sekitarnya berhasil, atau memang memiliki penilaian yang buruk terhadap mimpi dan ambisi dari orang sekitarnya tersebut. Lagi-lagi, orang takut berambisi karena nggak mau dipandang 'gimana-gimana' sama orang lain. Sampai akhirnya berhenti dan nggak jadi semangat lagi. Aku sangat percaya kalau semangat untuk mencapai mimpi-mimpi salah satunya tumbuh dari dukungan lingkungan sekitar. 

Lebih baik berambisi dalam diam atau tidak?
Mau diam atau menampakkan, semua adalah pilihan masing-masing. Tapi baiknya, berambisi dalam diam dapat membuat lebih fokus dengan tujuan diri sendiri tanpa memikirkan penilaian dan pengawasan orang lain. Pun kalau memilih untuk menampakkan juga nggak ada salahnya. Bisa jadi dengan orang lain yang mengerti dengan ambisi dan mimpi kita, kita jadi merasa terawasi dan terpacu untuk lebih semangat mencapai keberhasilan. Lebih sederhananya, jadi ada tekanan yang timbul karena hal itu. Selain itu, kita juga bisa dapat banyak dukungan atau terburuknya bakal dapat cemoohan. Hal yang terpenting dari menampakkan ambisi dan mimpi adalah pikiran-pikiran orang lain jangan sampai membuat diri goyah. Apapun pandangan dan penilaian yang didapat, harus tetap tekun berjuang mencapai tujuan. 

Tapi sebenarnya, cemoohan yang timbul dari orang lain nggak cuma bisa mempengaruhi seseorang jadi down. Sebab, di lain sisi, hal itu juga bisa membuat seseorang jadi lebih semangat mencapai keberhasilan untuk membuktikan bahwa ia mampu dan nggak seburuk yang dipandang. Dalam kondisi tekanan, poin yang terbaik adalah bagaimana seseorang dapat memanfaatkan tekanan itu sebaik-baiknya, bukan malah terpuruk. 

Mereka yang punya ambisi mengagumkan
Kalau yang aku amati dari orang-orang sekitar di perkuliahanku, orang-orang yang memiliki ambisi terlihat mengangumkan. Bukan dari ambisi yang dimiliki, tapi dari cara mereka berusaha mencapai ambisi-ambisi itu. Mungkin yang paling sering aku lihat adalah ambisi akademik, organisasi dan lomba sih. Banyak dari mereka yang sering di kampus dan jarang tidur. Mereka yang ambisi organisasi bisa nikmatin banget ketika kumpul-kumpul bersama rekan kerjanya hingga berjam-jam sampai larut malam. Mereka yang ambisi akademik, terlihat lesu saat pagi karena lelah belajar semalaman. Mereka yang ambisi lomba terlihat fokus dengan layar laptop dan enjoy saat berdiskusi dengan tim. Melihat mereka, aku bersyukur bisa berada di lingkungan yang cenderung memanfaatkan waktu masing-masing dengan hal positif. 

Tetap berambisi dan fokus
Sudah seharusnya menjadi seperti itu. Mimpi kita adalah milik kita. Ambisi diri sendiri adalah milik diri sendiri. Bukan saatnya lagi terpengaruh dengan orang lain ketika berjuang demi mimpi. Sebagai milenial, sudah saatnya punya pendirian dan bisa menata rencana kedepannya. Aku berhadap kita semua nggak bakal menyerah buat menggapai pencapaian-pencapaian yang bisa membanggakan diri kita sendiri. Keep fighting and support each other! 

With Love, Tara.
Oktober 16, 2020 No komentar

Untuk yang tersayang, kamu.

Denganmu, aku ingin terbang bersama bulir-bulir ilalang di atas keramaian kota. Membawa jutaan biji-bijian 'tuk memberi elok merpati. Kau di utara, aku di timur. Kita akan berjumpa di tenggara angkasa. Berkisah tentang masing-masing suka duka. Kalau kau mau, kita akan ditemani satu box biskuit cokelat. 

Kala denganmu, aku ingin menyelam di relung tanjung samudera. Memanggil kuda laut 'tuk bersiul bersama. Bila bosan, aku akan berseru pada hiu jinak agar membawa kita berkeliling hutan karang. Aku nahkoda dan kau penumpangnya. Agar tak jatuh, kau harus memelukku. 

Bila denganmu, aku ingin membangun fondasi besi. Tak lupa menyuruh seribu prajurit 'tuk menjaga rumah kita, bilik impianku untukmu. Kau bertugas menanam mawar, aku bertugas menyapu ubin hingga mengkilap. Aku bertugas menghidangkan teh hijau setiap pagi, sedang kau cukup bersantai di dekat aquarium ikan koki. Sesederhana itu, yang ku mau - tentang kita.

Denganmu, aku yakin tenang
Saat ku tak berkawan, dibenci hingga berlinang sebulan penuh, kau menggenggamku kuat tak letih. 
Kau beri aku masakan hangat, padahal perutmu tak pernah kau ajak bersahabat. 
Rasa-rasanya..
Seluruh dunia adalah secuil rempah-rempah ditanganmu.
Mungkin kau tameng sejatiku.

Untuk yang tersayang, bunda
Kadang-kadang, bahkan sering, aku ingin hanya denganmu.
Sebab saat ku tak percaya semua orang, saat ku membenci semua orang, aku hanya ingin denganmu.  Hanya denganmu saja. 
Sebab saat hatiku rumpang, mataku tak sanggup berbinar, kulit tak mampu merasa hangat, aku hanya ingin denganmu. Mendekapmu saja. 

With love, Tara.
Oktober 07, 2020 No komentar

Aku tertarik untuk menulis topik ini karena akhir-akhir ini aku beberapa kali mendengarkan pembicaraan tentang pentingnya ungkapan terima kasih bagi setiap orang. Sebenarnya aku sepakat dengan hal itu, tapi dalam realita yang nggak bisa selamanya mendukung aku coba buat nggak perlu memikirkannya. Lagi-lagi aku ingat, kalau kebahagaiaan dan kepuasan diri sendiri bukan tanggung jawab orang lain, termasuk dalam hal balasan 'terima kasih'.

Terima kasih dan prasangka buruk 
Sebelumnya aku sering berprasangka buruk dengan orang yang pernah aku bantu namun tak sedikitpun menghargai walau dengan sekedar ucapan terima kasih. Aku pikir, orang yang pernah aku bantu ini nggak beretika, nggak bisa menghargai orang lain, atau mungkin nggak bisa menilai kebaikanku. Padahal, bisa aja orang itu lupa atau lagi fokus dengan hal lain. Atau bisa juga, orang itu sengaja karena ingin membalas kebaikanku di lain waktu dan menganggap ucapan terima kasih bukan satu-satunya parameter untuk menghargai orang lain. Lagi-lagi, pada saat ini dipikiranku muncul stigma kalau dalam berhubungan dengan orang lain, semua hanya tentang timbal balik.

Mengubah niat ketika akan berbuat kebaikan
Seringkali ada beberapa niat yang muncul ketika akan berbuat kebaikan: impress people - berharap dipuji, mengharapkan sesuatu dari orang lain yang dibantu, berharap menjadi pusat perhatian. Atau berniat tulus membantu orang lain, memuaskan diri sendiri, memupuk pahala dan karena sesederhana 'ingin aja'. Menurutku semua niat itu sah-sah aja dan nggak ada yang salah. Dari semua macam niatan itu, yang perlu diperhatikan adalah impact apa yang kita dapat setelah melakukan kebaikan dengan salah satu niat diantara macam niat tersebut. 

Menurut pengalamanku, ketika aku melakukan kebaikan dengan niat untuk mengesankan orang lain tapi tujuan itu nggak tercapai, aku akan merasa kebaikan yang sudah kulakukan sia-sia dan menyesal telah melakukannya. Tapi kalau tujuan untuk mengesankan orang lain itu tercapai, maka nggak bisa dipungkiri kalau muncul rasa tinggi hati. Atau ketika aku melakukan kebaikan dengan niat mengharapkan balasan dari orang lain tapi tujuan itu nggak tercapai, aku akan berperasangka buruk ke orang itu dan muncul pikiran kalau nggak mau bantu orang itu lagi. Tapi kalau tujuan itu tercapai, kedepannya aku jadi terus-terusan pakai niat tersebut ketika akan melakukan kebaikan karena berekspektasi orang lain akan membalas kebaikanku lagi. 

Tapi, rasanya beda ketika berniat melakukan kebaikan karena memang ingin tulus berbuat baik. Niat tersebut cukup sulit digunakan karena kembali lagi pada kodrat manusia sosial kalau membutuhkan penghargaan atas sesuatu yang pernah dilakukan. Solusinya, bagiku melakukan kegiatan dengan niat untuk memuaskan diri sendiri adalah pilihan yang paling tepat. Yup! nggak ada habisnya ngomongin soal kepuasan diri sendiri yang diciptakan oleh diri sendiri. Sebab melakukan kebaikan untuk memuaskan diri sendiri memiliki efek luar biasa untuk jadi bangga dan bersyukur. Bangga dalam artian bisa mencapai title orang baik pada versi diri sendiri, bersyukur dalam artian masih diberi kesempatan untuk berbuat kebaikan dalam sisa waktu hidup yang berharga. Lebih dari itu, nggak perlu lagi ngehabisin waktu dan pikiran untuk berprasangka buruk dengan menunggu balasan dari orang lain. 

Berhenti menceritakan kebaikan yang pernah dilakukan
Seringkali memang suka dengan sendirinya bercerita tentang kebaikan yang pernah kita lakukan ke lawan bicara kita. Walaupun sebenarnya, nggak ada niatan pamer sedikitpun. Tapi bisa juga menceritakan kebaikan karena mengharapkan simpati dari lawan bicara akan kebaikan yang sudah kita lakukan, sebab merasa nggak dihargai dari orang lain yang sudah dibantu sebelumnya. Mungkin nggak ada salahnya dengan kedua hal tersebut, yang salah adalah menceritakan kebaikan kita ke lawan bicara karena mengharapkan pujian. Nggak apa, tapi akan jadi kecewa sendiri kalau ternyata nggak dapat pujian yang diharapkan sebelumnya. Jadi baiknya, belajar menyimpan sendiri kebaikan yang pernah dilakukan untuk menghindari niat yang salah tersebut. 

Tentang timbal balik
Hubungan sosial adalah soal timbal balik. Tapi sayangnya, kita nggak bisa mengontrol pikiran orang untuk berpikiran yang sama ketika berinteraksi dengan kita. Kalau orang lain nggak bisa memiliki pemikiran yang sama nggak masalah, sebab yang terpenting adalah kita harus berusaha untuk selalu memiliki pemikiran soal timbal balik ke siapa saja. Menghargai kebaikan orang lain yang pernah kita terima nggak melulu soal materi yang berhagra, bisa juga dengan meluangkan waktu untuknya, menjadi teman sharing yang baik, memberi kejutan kecil seperti masakan atau kue yang kita buat, atau yang paling sederhana namun spesial adalah memberi ungkapan terima kasih yang tulus. Dalam hal ini ketika berinteraksi dengan orang lain, pemikiran timbal balik hanya berlaku 'oleh' diri kita saja. Belajar untuk berhenti menaruh ekspektasi akan timbal balik dari orang lain. Tapi kalau ternyata ada, sudah semestinya jadi banyak bersyukur. 

Tulisanku kali ini lebih tepatnya menjadi reminder untuk diriku sendiri. Buat yang sudah baca semoga bermanfaat dan yang penting tetap semangat berproses menjadi lebih baik:)

With Love, Tara. 

Oktober 04, 2020 No komentar
Newer Posts
Older Posts

About

Hi, welcome to my diary :)

Label

  • Academic
  • Personal
  • Puisi
  • Random
  • Review
  • Travelling

Popular Post

  • REVIEW BEDAK DINGIN BERASTAGI ASTAGINA (MY LOVELY PUBERTY-MATE)
  • JALAN-JALAN KE TAMAN SARI YOGYAKARTA
  • MENGENAL KHASIAT MINYAK WULUNG
  • JALAN-JALAN KE ICON KOTA SELONG LOMBOK TIMUR
  • WHAT'S IN MY CAMPUS BAG? (ENGINEERING STUDENT)
  • THE BEST THING IN 2024
  • THINGS I LEARNED AFTER 2+ YEARS GRADUATION
  • ANOTHER DAY IN BANDUNG: KULINER & WISATA SEJARAH
  • SHORT TRIP IN BANDUNG, FINALLY KE KOTA IMPIAN MASA KECIL
  • REVIEW Nu Skin ageLOC GALVANIC SPA (PERAWATAN DI RUMAH ALA KLINIK)

Archive

  • ►  2025 (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2024 (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2023 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2022 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (13)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2020 (30)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ▼  Oktober (4)
      • HAL POSITIF DARI PANDEMI COVID-19
      • TENTANG AMBISI DAN MIMPI
      • PUISI: UNTUK YANG TERSAYANG
      • MENGHARAPKAN BALASAN TERIMA KASIH
    • ►  September (9)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (3)

Contact Me

Nama

Email *

Pesan *

Follow Us

Community



FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates