gmail Linkedin twitter instagram
  • Home
  • About
  • Contact

nabilatara

a little piece of my lovely journey♡


Akhir-akhir ini pembicaraan soal budaya patriarki cukup menarik dan sering muncul di media sosial. Awalnya nggak ngerasa begitu terkena oleh dampaknya,  tapi kalau dipikir-pikir ternyata selama ini cukup terdampak. Mungkin karena hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang seolah-olah normal di lingkunganku dan kebetulan belum ada yang pernah speak-up, jadi aku kurang menyadarinya. 

Banyaknya gerakan feminisme membuatku sadar, kalau banyak perempuan-perempuan diluar sana yang ingin memperjuangkan hak mereka untuk memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Aku rasa gerakan berbau feminisme itu nggak ada tanpa penyebab. Tapi setelah aku cari dan mendengarkan suara-suara perempuan dari berbagai platform seperti maraknya kekerasan, kesenjangan kedudukan dalam dunia kerja, intimidasi terhadap perempuan—aku setuju dengan kesetaraan gender yang seharusnya diperjuangkan. 

Tentang perbedaan gender
Bukan sesuatu yang asing terdengar kalau di lingkungan kita perempuan seolah-olah memiliki kedudukan di bawah laki-laki. Nggak tau pasti penyebabnya apa, tapi aku sering dengar kalau perempuan adalah kaum yang lebih lemah dari laki-laki. Kalau yang aku tangkap, lemah dalam artian ini adalah lemah secara fisik dan lemah secara mental. Padahal, belum tentu begitu benarnya. Stigma-stigma itu muncul karena sudah terlalu melekat di pikiran masyarakat.

Aku masih ingat kalau setahun lalu saat pemilihan ketua di suatu komunitas, orang-orang terdekatku bilang kalau calon-calonnya hanya bisa diperankan oleh anggota laki-laki saja. Saat aku tanya penyebabnya, beberapa dari mereka mengatakan kalau perempuan terlalu memakai perasaan dalam hal apapun, sehingga dikhawatirkan tidak cukup kuat memimpin suatu program kerja yang dirasa cukup berat dan menantang. Pikiran-pikiran yang belum tentu mutlak benar tersebut bisa berpengaruh besar terhadap suatu hal seperti dalam memilih pemimpin. Padahal dalam dunia profesional, baik perempuan atau laki-laki seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi leader. Kemampuan memimpin seharusnya dipertimbangkan dari kapabilitas seseorang, namun mengapa masih sering dikaitkan dengan perbedaan gender?

Hal yang cukup mengganggu lainnya ketika masyarakat secara tidak langsung membatasi perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi dengan alasan takut tidak 'laku' atau tidak ada yang ingin menikahi. Pun juga sering menjadi bahasan diskusi tentang bagaimana perempuan mengambil peran ketika sudah menikah atau berkeluarga. Laki-laki sebagai kepala keluarga berhak melakukan apapun yang diinginkan, sedangkan perempuan memiliki batasan-batasan untuk menjalani hidupnya. Namun buruknya, budaya itu bisa membuat laki-laki menjadi seenaknya mengatur-ngatur istrinya tanpa memenuhi hak-haknya, atau bahkan bisa jadi menyakiti istrinya karena merasa diri sendiri paling berkuasa. Dalam kehidupan masyarakat, perempuan yang seolah-olah ditakdirkan memiliki banyak batasan serta laki-laki yang ditakdirkan memiliki kebebasan itu real & masih eksis hingga saat ini. 

Mungkin sering terdengar juga kalau perempuan hidup untuk menikah dengan laki-laki. Seolah-olah, tujuan hidup perempuan adalah untuk menikah dan menjadi istri. Padahal, tujuan setiap orang hidup di dunia ini adalah untuk menjadi bermanfaat. Pun ketika perempuan memutuskan untuk menikah dan berkeluarga, tujuan hidupnya adalah tetap untuk menjadi bermanfaat. Baik bermanfaat untuk keluarganya, untuk lingkungannya, atau untuk dirinya sendiri. Nggak seharusnya mengutamakan pernikahan sebagai tujuan hidup perempuan. Kalau orang-orang sekitar banyak yang bilang perempuan harus segera menikah sebelum umur sekian sesuai standart masyarakat, aku kira itu salah dan nggak seharusnya seseorang mengatur pilihan hidup orang lain untuk bagaimana dan menjadi apa. Sebab, selama pilihan hidup seseorang tidak merugikan orang lain, apa yang perlu dipermasalahkan?

Keep being positive!

With Love, Tara.

Desember 12, 2020 No komentar
Beberapa hari terakhir cukup sibuk dengan kegiatan kampus dan kegiatan lain, sampai-sampai ingin banget keluar walau cuma sekedar ke pantai dekat rumah. Senin lalu setelah kelas aku langsung ke pantai, padahal terik lagi kuat-kuatnya karena masih jam 2 siang. 

Awalnya cuma ingin menikmati es kelapa muda aja sambil duduk-duduk santai. Tapi nggak tau kenapa kemarin pingin ngelilingin pantai sambil dikit-dikit hunting foto. Setelah rasanya udah lama banget folder kamera di handphone nggak keisi karena cuma dirumah aja, dalam sehari bisa langsung nambah puluhan foto waktu di pantai. Mulai dari foto selfie, foto ombak, foto deretan sampan yang lagi nggek berlayar dan foto-foto random lain yang membawaku sampai penasaran dengan area deretan rumput laut.


Nggak langsung ketemu sama area ini, karena awalnya aku bertemu dengan anak perempuan kecil yang lagi ngambil sesuatu di muara ombak. Aku mengira kalau dia lagi ngumpulin kerang, tapi setelah aku deketin ternyata itu rumput laut. Semakin aku deketin semakin banyak banyak rumput laut, bahkan hampir semua area itu ketutup sama rumput laut. Sebelumya aku sudah ke Pantai Labuhan Haji beberapa kali, tapi baru pertama kali notice tentang area rumput laut. Dan.. di Malang ataupun di Yogyakarta aku belum pernah nemu pantai yang dipenuhi rumput laut seperti ini. 


Kalau aku amati kemarin, di area rumput laut ini nggak seluruhnya bersih karena ada satu dua sampah yang nyangkut. Memang, di beberapa wilayah Pantai Labuhan Haji masih ada banyak sampah dari pengunjung yang nggak bertanggung jawab. Sudah bertahun-tahun yang lalu sejak aku SD hingga sekarang masih seperti itu, tapi bersyukur juga sih karena sebaran sampah semakin berkurang setiap tahunnya. 

Sempat lama mengamati rumput laut, uniknya mereka warna warni ya. Hijau tua, hijau muda, kuning. cokelat dan merah muda juga ada. Aku jadi ingat kalau suka beli dodol rumput laut buat oleh-oleh dari Mataram. Variasi warnanya persis dengan rumput laut asli disini. Bahkan, aku sempat berpikir kalau ingin mengambil seluruh rumput laut disini untukku olah menjadi sesuatu. 

By the way setelah cukup lama mengamati dan hari semakin sore, aku bertemu dengan dua orang ibu-ibu yang membawa kantong plastik. Berbeda dengan anak perempuan kecil tadi yang kayaknya cuma iseng-iseng ngambil rumput laut, kali ini dua orang ibu-ibu terlihat akan membawa rumput laut itu pulang ke rumah. Berhubungan dengan pikiranku sebelumnya tentang olahan rumput laut dan melihat dua orang ibu-ibu itu, aku semakin penasaran dan mendekati mereka. 

Mereka nggak sembarang ambil rumput laut, jadi memang sengaja dipilih. Kata salah satu ibu-ibu yang aku tanya, mereka mengambil rumput laut bukan untuk dijual, tapi untuk di olah menjadi beberuk. Fyi, beberuk adalah salah satu masakan khas Lombok yang terbuat dari lalapan kangkung, kacang panjang dan sambal tomat yang pedas. Tapi nggak selalu lalapan kangkung, bisa juga beberuk terbuat dari lalapan terong atau rumput laut seperti yang akan dimasak oleh ibu-ibu yang kutemui. Sayangnya, sebelum ini aku cuma pernah ketemu dengan beberuk kangkung aja. Next time kayanya aku tertarik buat nyoba beberuk rumput laut.

Finally, aku cuma mau bilang kalau kita harus tetap bertahan untuk nggak bosan karena pandemi ini. Sesekali mungkin perlu untuk keluar rumah biar nggak jenuh, asalkan nggak ke tempat keramaian yaaa. Stay safe everyone!

With Love, Tara.
November 23, 2020 No komentar

Aku yakin kalau setiap orang memiliki sesuatu yang pernah disesalkan, ntah karena kesalahan yang telah dilakukan dengan sengaja, atau.. karena kesalahan yang disebabkan ketidaksengajaan. Padahal, segala hal buruk yang pernah terjadi di masa lalu adalah bagian dari cara Allah untuk memberikan pesan-pesan kehidupan pada setiap manusia. 

Belajar dan berproses
Pernah berada dalam posisi terburuk dalam hidup karena telah melakukan kesalahan yang dirasa nggak normal jika dilakukan orang lain pada posisi yang sama. Bukan, bukan karena diri benar-benar jatuh. Tapi karena awalnya ngerasa semua adalah bagian dari kecerobohan, tapi semakin rumit dipikiran, semakin muncul hal-hal lain yang membuat otak melebih-lebihkan. And.. the only one it's about 'people minds'. Aku pernah mendengar kata-kata seorang teman kuliahku yang hingga sekarang masih ku ingat, 'Jangan mudah menghakimi orang lain, belum tentu jika kita berada di posisi-nya, kita bisa menghadapi kejadian itu lebih baik dari cara-nya'. I'm totally agree with that statement. Sekali lagi, belum tentu orang-orang yang pernah menghakimi kita bisa lebih survive dari kita ketika ia berada di posisi yang sama dan mengalami kejadian sama. Tapi, sejauh ini kalimat itu lebih cocok menjadi penenang diri ketika memikirkan hal yang nggak-nggak dari omongan dan pikiran orang lain. 

Well, ketika dulu saat belum paham, aku pernah menghakimi orang lain walau dengan cara yang tidak langsung. Aku merasa dia salah menurut pendapat pribadiku, dan itu yang membuatku menyalahkan dia. Dan, aku nggak kebayang kalau dia bakal se-kecewa itu. Mungkin itu salah satu penyebab pertemananku dan dia renggang hingga saat ini, walau saat itu sudah diselesaikan baik-baik.  Sebenarnya niatnya baik, tapi cara penyampain dariku yang salah. Aku menyesal atas kejadian itu, seharusnya aku bisa paham perihal ini lebih cepat. Tapi sejak saat itu juga, aku berusaha untuk belajar menyampaikan pesan dengan cara yang baik kepada orang-orang sekitar. Lagi-lagi, semuanya adalah soal belajar.

Sebenarnya, kejadian buruk hanya berkutat dengan kata 'proses' dan 'perbedaan'. Setiap orang memiliki jalan yang berbeda untuk berproses dalam hidupnya. Itulah kenapa kita nggak bisa menjustifikasi seseorang bahwa ia salah menurut versi kita. Kalau dia bukan orang dekat, kita nggak tau batas kemampuannya seperti apa, fokus kehidupannya adalah tentang apa dan kondisinya bagaimana ketika sedang melakukan suatu kesalahan. Setiap orang memang bebas berpendapat. Tapi, akan lebih baik kalau pendapat tentang apapun itu dilontarkan setelah ia paham betul tentang kondisi dan penyebab dari seseorang yang akan dihakimi. 

Tentang memaafkan
Suatu hal yang disesalkan di masa lalu bisa saja timbul karena kesalahan diri sendiri atau disebabkan karena orang lain. Satu hal yang masih menjadi keresahan hingga sekarang adalah mengapa begitu sulit memaafkan orang yang sudah membuat kenangan buruk dalam memori. Aku sendiri belum tau jawabannya. Bahkan, kadang sempat berpikir kalau manusia hanya butuh orang lain untuk dibenci karena kita butuh pembelaan kalau kita benar, menurut versi kita sendiri. Padahal itu salah, sebab otak tau tentang 'kebenaran' siapa yang salah dan siapa yang sedang disalahkan—hanya karena diri sendiri butuh pembelaan. Dalam pengalamanku yang pernah melakukan kesalahan tapi malu karena sempat dihakimi orang lain dengan cara yang tidak sesuai dengan keinginanku, pada keberjalanannya dalam hati aku malah sempat menyalahkan orang lain itu. Mungkin dalam hal ini, seharusnya aku memaafkan seseorang karena kesalahan yang sebenarnya, yaitu menyampaikan kritik dengan cara yang salah. Bukan karena kesalahan seseorang karena pandangan yang dibuat-buat sendiri. 

Seharusnya, ada baiknya kalau kita menghadapi kesalahan di masa lalu hanya melihat sisa baiknya saja agar tidak belarut-larut terlalu lama. Setelah berhasil mengambil sisi baiknya, kita perlu 'beraksi' untuk memperbaiki kesalahan sebelumnya. Entah pada akhirnya akan berhasil diperbaiki atau tidak, yang penting sudah berusaha sepenuhnya. Mungkin Allah ngin melihat manusia berjuang dengan cara demikian. Semestinya, sesederhana itu yang muncul dipikiran manusia. Sehingga, nggak ada orang lain yang disalahkan dan dibenci, nggak ada pikiran yang dilebih-lebihkan dan menjadi toxic di pikiran sendiri. 

Kalau sudah berhasil memaafkan orang lain yang telah menjadi bagian dari memori buruk kita, selanjutnya adalah berdamai dengan memaafkan diri sendiri. Memang, butuh usaha dan waktu yang lama. Tapi harus terus diusahakan, harus terus dicoba perlahan. Kalau belum bisa berdamai dengan diri sendiri, bagaimana cara kita melihat sisi positif yang lain dari diri kita? Setiap orang bisa saja membuat kesalahan, setiap orang bisa saja gagal, tapi setiap orang juga pasti punya hal positif lain yang perlu disyukuri kan? Dan.. orang terdekat yang bisa menghargai dan mengapresiasi hal positif pada diri kita adalah diri kita sendiri. Kalau orang lain melihat diri kita lebih unggul atas kesalahan dan kelemahan, maka kita nggak boleh melihat hal yang sama seperti padangan orang lain. That's the importans of make peace with our self. 

Masa lalu adalah milik kita, baik atau buruk sudah semestinya disyukuri. Masa depan adalah milik kita, akan menjadi baik atau buruk sudah seharusnya diperjuangkan. Nggak ada yang perlu disesalkan dari masa lalu dan nggak ada yang perlu dikhawatirkan tentang masa depan kalau kita janji akan selalu berusaha menjadi lebih baik. Keep spread love to our self and others!

With Love, Tara.
November 11, 2020 No komentar

Pernah nggak sih berpikir, kalau dunia itu bisa berputar 180 derajat secara tiba-tiba, bahkan 360 derajat tanpa diduga. Sampai-sampai, ada suatu masa ketika tersenyum adalah kebiasaan, tiba-tiba berubah menjadi langka, tiba-tiba tergantikan oleh muram. 

Ada masanya, ketika mata selalu berbinar, tiba-tiba berubah menjadi nanar. 

Ada masanya, ketika hidup adalah menjadi sesuatu yang disyukuri, tiba-tiba berubah menjadi termaki-maki. 

Ada masanya, ketika hidup berubah langsung seketika hanya karena setitik nila—yang tak jelas jatuhnya dari mana, jatuhnya karena apa?

Ada masanya, ketika setiap pertanyaan memiliki jawaban yang datang dengan sendirinya, tiba-tiba berubah menjadi pertanyaan yang harus di cari sendiri jawabannya hingga berbulan-bulan lamanya.

dan ada masanya, ketika semua bisa dengan mudah didapatkan, tiba-tiba berubah menjadi mudah kehilangan.

Pernah nggak sih berpikir, kalau grafik yang awalnya selalu statis, tiba-tiba menjadi naik, atau bisa jadi turun drastis.

Tapi pernah nggak sih berpikir, kalau semuanya hanya sementara dan bisa kembali seperti keadaan awalnya, atau bahkan menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya?

With Love, Tara.
November 05, 2020 No komentar

Berada di rumah dalam rentang waktu yang lama sering bikin bosan. Apalagi, seluruh aktivitas seolah-olah terintegrasi hanya dalam satu tempat, atau bahkan hanya dalam satu ruang saja. Mungkin sebagian orang lelah dan ingin cepat keluar. Namun pasti ada juga orang-orang yang menikmati dan waktu pandemi ini sebaik mungkin, termasuk aku. 

Kemarin aku mengikuti suatu webinar dari BEM fakultasku tentang kesehatan mental saat pandemi. Dalam webinar itu sempat menyinggung soal kepribadian extrovert adalah kepribadian yang cukup dirugikan karena merasa nggak nyaman berada dalam keadaan sepi pada waktu yang lama. Aku nggak tau tepatnya aku memliki kepribadian seperti apa, bisa jadi introvert, bisa jadi ambievert. Tapi yang jelas aku merasa bisa menikmati kondisi #dirumahaja seperti saat ini. Bagiku, tahun 2020 ini menjadi tahun baru yang bisa membuatku menemukan hal-hal berharga yang sebelumnya belum aku ketahui. 

Mengenal diri lebih dalam
Salah satu hal paling berharga yang kutemui saat masa pandemi adalah aku bisa belajar untuk mengenal diriku lebih dalam. Berawal dari mengingat kenangan-kenangan masa lalu sebelum pandemi yang sering buat kesal hingga menyalahkan diri sendiri. Atau ketika mengingat kegagalan-kegagalan yang pernah kuperbuat sampai bikin stres dan capek sendiri. Fase-fase itu kelihatannya sangat rumit di memori, tapi semakin lama memiliki waktu untuk merenungkannya, semakin baik juga kesempatan kita untuk refleksi dan memperbaiki. Aku berlajar sepakat dengan pernyataan bahwa 'kita nggak perlu malu dan benci dengan masa lalu kita karena bagaimanapun masa-masa itu menjadi bagian dari hidup kita'. Bahkan mungkin karena kita mampu melewati masa-masa sulit itu, kita jadi bisa menjadi seperti sekarang yang yakin nggak bakal jatuh dalam kesalahan yang sama seperti masa lalu. Atau lebih baiknya lagi, kesalahan dan kegagalan yang pernah terjadi dimasa lalu bisa menjadi hikmah dan pembelajaran bagi orang-orang sekitar kita yang termasuk didalamnya maupun yang sekedar tau. 

Selain itu, aku juga bisa mulai mengerti minatku dan menyusun timeline hidupku kedepannya. Dalam artian lain, aku jadi tau punya tujuan hidup. Mungkin hal itu terjadi karena ketika di rumah, aku hanya dihadapkan untuk fokus pada diriku, keluarga, kuliah dan organisasi. Sedangkan ketika hidup normal di luar, aku dihadapkan dengan bermacam-macam hal seperti bentuk akibat dari interaksi dengan orang banyak secara langsung dan aktivitas yang banyak membutuhkan energi sehingga hanya punya sedikit punya waktu untuk istirahat. Aku sadar bahwa saat itu aku belum memiliki manajemen waktu dan emosi yang baik sampai sering bikin kesal dan capek sendiri. Mungkin melalui pandemi ini, Allah memberiku kesempatan untuk beristirahat atas seluruh kegundahan hidupku sebelumnya. Dan...mungkin saat pandemi inilah aku bisa belajar mengatur diriku dalam hal waktu & emosi serta yang terpenting bisa mempersiapkan segala sesuatu dengan baik untuk menyambut kehidupan normal kembali. 

Lebih dekat dengan keluarga
Sebagai pelajar yang sudah merantau dari 8 tahun yang lalu, memiliki kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga menjadi sangat berharga. Kalau selama 8 tahun kebelakang ketemu keluarga hanya saat liburan semester dengan durasi sekitar 2 minggu sampai 1 bulan, kali ini tinggal dengan keluarga sudah lebih dari setengah tahun. Sebenarnya butuh adaptasi juga si karena sebelumnya sudah terbiasa tinggal sendirian, kali ini harus belajar buat hidup berdampingan. But, aku sangat bersyukur. Aku bahagia bisa menjalani kehidupan sehari-hariku dengan bertemu dan berbincang dengan keluargaku. Hua! Aku berharap bisa selalu bersama keluargaku, tapi aku juga berharap pandemi ini cepat selesai. Just hope for the best. 

Lebih mengenal teman-teman
Ini berlaku dari aku ke beberapa teman-temanku yang sebelumnya nggak begitu akrab. Kalau dulu saat kehidupan normal seringnya main sama teman-teman yang cuma akrab di circle masing-masing, kali ini aku ngerasa lebih akrab sama beberapa teman yang dulunya jauh. Mungkin kalau di kehidupan langsung ada rasa sungkan buat nge-akrabin diri, tapi disaat pandemi ini karena sering diskusi soal pelajaran jadi sering berhubungan dan kadang-kadang suka cerita tentang diri masing-masing. Sederhana, tapi aku ngerasa hal ini adalah satu manfaat yang aku dapat dari pembelajaran online karena pandemi. Aku berharap seterusnya bisa akrab dengan teman-teman dekatku saat pandemi ini. 

Kesempatan berkarya
Kalau nge-follow akun instagram info lomba-lomba pastinya nggak asing dengan update poster lomba setiap harinya. Sampai-sampai kalau mau ikut lomba suka bingung mau ikut yang mana. Menurutku masa pandemi ini ikut kompoteisi cocok banget buat siswa dan mahasiswa yang bingung mau ngapain tapi ingin produktif. Sebab dengan kondisi daring seperti ini, banyak lomba-lomba yang diadakan dengan biaya registrasi murah. Pun kalau diterima sebagai finalis, nggak perlu bayar pesawat mahal-mahal buat datang ke universitas yang mengadakan lomba tersebut karena saat ini presentasi finalis diadakan melalui platform meeting online. Selain itu, mengikuti kompetisi online juga bisa membuat kita terdorong untuk nggak rebahan dan main handphone aja di rumah. Ada deadline yang harus diperhatikan, ada tugas menyelesaikan karya untuk dikumpulkan. Mengikuti kompetisi nggak melulu soal ambisi untuk mendapatkan rewards. Sebab dengan mengikuti kompetisi kita bisa menambah pengetahuan dengan membaca berita, buku dan jurnal-jurnal serta hal serupa lain yang bisa kita dapat kalau mengikuti kompetisi kesenian. Namun, lomba bukan satu-satunya wadah untuk berkarya karena ada banyak banget jalan untuk berkarya selain itu. Jadi yang terpenting, walau pandemi seperti ini kita nggak boleh males-malesan dan harus tetap mengambil kesempatan untuk melakukan sesuatu bermanfaat. 

Karena nggak tau kapan pandemi ini akan berakhir, kita hanya perlu memanfaatkan masa pandemi ini untuk terus jadi bermanfaat. Kalau belum saatnya bermanfaat bagi orang lain, kita harus bisa minimal menjadi manfaat bagi diri kita sendiri. Sesederhana.. mengisi waktu dengan hal-hal positif. Sehingga nantinya ketika beberapa waktu ke depan ingin mengenang diri kita saat pandemi, kita memliki jejak-jejak positif yang disalurkan melalui jalan masing-masing. Semangat semuanya!

With Love, Tara.
Oktober 25, 2020 No komentar

Pernah nggak sih berpikir untuk berhenti usaha mencapai mimpi yang sudah disusun dengan matang? Mungkin karena lelah berusaha, atau.. lelah untuk survive di lingkungan yang nggak support dengan mimpi-mimpi yang dimiliki. Sebagai mahasiswa, sering dan bahkan dalam setiap harinya berhubungan dengan kedua hal itu. Bisa jadi soal ambisi dan mimpi pribadi, bisa jadi soal ambisi dan mimpi dari orang-orang sekitar yang terlihat di depan mata. 

Bolehkah memiliki ambisi?
Tanpa dijawab pun, semua orang pasti punya dan pernah berambisi. Nyatanya, ambisi adalah faktor terkuat yang membuat manusia bisa tekun berjuang untuk mencapai mimpi-mimpinya. Aku yakin orang-orang yang terlihat nggak punya jiwa-jiwa ambis atau hidupnya tampak mengalir aja pasti tetap punya ambisi yang mungkin disembunyikan. Entah sengaja, atau memang ingin terlihat hidup apa adanya. 

Takut berambisi
Menghadapi suatu kegagalan adalah hal yang memang berat. Kadang merasa sudah berusaha dengan maskimal, tapi hasil nggak sesuai yang diharapkan. Kemudian.. memustukan untuk berhenti berambisi. Memutuskan untuk mengalir aja tanpa ada tujuan dan keinginan yang kuat akan sesuatu. Setiap orang berbeda, ada yang benar-benar menata rencana hidupnya dengan tujuan-tujuan yang dimiliki. Ada juga yang terlalu pasrah sama hidup sampai-sampai nggak tau mau ngapain kedepannya. Bisa jadi karena trauma menghadapi kegagalan, atau lelah berusaha dan memikirkan semuanya. Padahal, ada baiknya kalau setiap orang semestinya punya pandangan tentang masa yang akan datang. Kalau bicara soal usaha dan hasil, setiap orang seharusnya berusaha dengan giat mencapai mimpi-mimpinya kemudian bersiap untuk tabah dengan hasilnya. Diibaratkan permukaan koin, hasil juga cuma punya 2 kemungkinan. Gagal atau berhasil. Manusia hanya perlu 'berusaha' dan 'bersiap' menerima hasilnya, apapun itu. 

Kalau sebelumnya adalah tentang takut berambisi karena takut gagal yang berasal dari diri sendiri, kali ini adalah soal takut berambisi karena orang lain. Nggak jarang bertemu dengan kondisi dimana ada orang yang terlalu sibuk mengurusi mimpi dan ambisi orang lain, sampai-sampai jadinya menjatuhkan. Se-simple celetukan 'apaan sih ambis banget' hingga 'udah deh nggak usah bermimpi terlalu tinggi'. Mungkin ada perasaan nggak suka lihat orang sekitarnya berhasil, atau memang memiliki penilaian yang buruk terhadap mimpi dan ambisi dari orang sekitarnya tersebut. Lagi-lagi, orang takut berambisi karena nggak mau dipandang 'gimana-gimana' sama orang lain. Sampai akhirnya berhenti dan nggak jadi semangat lagi. Aku sangat percaya kalau semangat untuk mencapai mimpi-mimpi salah satunya tumbuh dari dukungan lingkungan sekitar. 

Lebih baik berambisi dalam diam atau tidak?
Mau diam atau menampakkan, semua adalah pilihan masing-masing. Tapi baiknya, berambisi dalam diam dapat membuat lebih fokus dengan tujuan diri sendiri tanpa memikirkan penilaian dan pengawasan orang lain. Pun kalau memilih untuk menampakkan juga nggak ada salahnya. Bisa jadi dengan orang lain yang mengerti dengan ambisi dan mimpi kita, kita jadi merasa terawasi dan terpacu untuk lebih semangat mencapai keberhasilan. Lebih sederhananya, jadi ada tekanan yang timbul karena hal itu. Selain itu, kita juga bisa dapat banyak dukungan atau terburuknya bakal dapat cemoohan. Hal yang terpenting dari menampakkan ambisi dan mimpi adalah pikiran-pikiran orang lain jangan sampai membuat diri goyah. Apapun pandangan dan penilaian yang didapat, harus tetap tekun berjuang mencapai tujuan. 

Tapi sebenarnya, cemoohan yang timbul dari orang lain nggak cuma bisa mempengaruhi seseorang jadi down. Sebab, di lain sisi, hal itu juga bisa membuat seseorang jadi lebih semangat mencapai keberhasilan untuk membuktikan bahwa ia mampu dan nggak seburuk yang dipandang. Dalam kondisi tekanan, poin yang terbaik adalah bagaimana seseorang dapat memanfaatkan tekanan itu sebaik-baiknya, bukan malah terpuruk. 

Mereka yang punya ambisi mengagumkan
Kalau yang aku amati dari orang-orang sekitar di perkuliahanku, orang-orang yang memiliki ambisi terlihat mengangumkan. Bukan dari ambisi yang dimiliki, tapi dari cara mereka berusaha mencapai ambisi-ambisi itu. Mungkin yang paling sering aku lihat adalah ambisi akademik, organisasi dan lomba sih. Banyak dari mereka yang sering di kampus dan jarang tidur. Mereka yang ambisi organisasi bisa nikmatin banget ketika kumpul-kumpul bersama rekan kerjanya hingga berjam-jam sampai larut malam. Mereka yang ambisi akademik, terlihat lesu saat pagi karena lelah belajar semalaman. Mereka yang ambisi lomba terlihat fokus dengan layar laptop dan enjoy saat berdiskusi dengan tim. Melihat mereka, aku bersyukur bisa berada di lingkungan yang cenderung memanfaatkan waktu masing-masing dengan hal positif. 

Tetap berambisi dan fokus
Sudah seharusnya menjadi seperti itu. Mimpi kita adalah milik kita. Ambisi diri sendiri adalah milik diri sendiri. Bukan saatnya lagi terpengaruh dengan orang lain ketika berjuang demi mimpi. Sebagai milenial, sudah saatnya punya pendirian dan bisa menata rencana kedepannya. Aku berhadap kita semua nggak bakal menyerah buat menggapai pencapaian-pencapaian yang bisa membanggakan diri kita sendiri. Keep fighting and support each other! 

With Love, Tara.
Oktober 16, 2020 No komentar

Untuk yang tersayang, kamu.

Denganmu, aku ingin terbang bersama bulir-bulir ilalang di atas keramaian kota. Membawa jutaan biji-bijian 'tuk memberi elok merpati. Kau di utara, aku di timur. Kita akan berjumpa di tenggara angkasa. Berkisah tentang masing-masing suka duka. Kalau kau mau, kita akan ditemani satu box biskuit cokelat. 

Kala denganmu, aku ingin menyelam di relung tanjung samudera. Memanggil kuda laut 'tuk bersiul bersama. Bila bosan, aku akan berseru pada hiu jinak agar membawa kita berkeliling hutan karang. Aku nahkoda dan kau penumpangnya. Agar tak jatuh, kau harus memelukku. 

Bila denganmu, aku ingin membangun fondasi besi. Tak lupa menyuruh seribu prajurit 'tuk menjaga rumah kita, bilik impianku untukmu. Kau bertugas menanam mawar, aku bertugas menyapu ubin hingga mengkilap. Aku bertugas menghidangkan teh hijau setiap pagi, sedang kau cukup bersantai di dekat aquarium ikan koki. Sesederhana itu, yang ku mau - tentang kita.

Denganmu, aku yakin tenang
Saat ku tak berkawan, dibenci hingga berlinang sebulan penuh, kau menggenggamku kuat tak letih. 
Kau beri aku masakan hangat, padahal perutmu tak pernah kau ajak bersahabat. 
Rasa-rasanya..
Seluruh dunia adalah secuil rempah-rempah ditanganmu.
Mungkin kau tameng sejatiku.

Untuk yang tersayang, bunda
Kadang-kadang, bahkan sering, aku ingin hanya denganmu.
Sebab saat ku tak percaya semua orang, saat ku membenci semua orang, aku hanya ingin denganmu.  Hanya denganmu saja. 
Sebab saat hatiku rumpang, mataku tak sanggup berbinar, kulit tak mampu merasa hangat, aku hanya ingin denganmu. Mendekapmu saja. 

With love, Tara.
Oktober 07, 2020 No komentar

Aku tertarik untuk menulis topik ini karena akhir-akhir ini aku beberapa kali mendengarkan pembicaraan tentang pentingnya ungkapan terima kasih bagi setiap orang. Sebenarnya aku sepakat dengan hal itu, tapi dalam realita yang nggak bisa selamanya mendukung aku coba buat nggak perlu memikirkannya. Lagi-lagi aku ingat, kalau kebahagaiaan dan kepuasan diri sendiri bukan tanggung jawab orang lain, termasuk dalam hal balasan 'terima kasih'.

Terima kasih dan prasangka buruk 
Sebelumnya aku sering berprasangka buruk dengan orang yang pernah aku bantu namun tak sedikitpun menghargai walau dengan sekedar ucapan terima kasih. Aku pikir, orang yang pernah aku bantu ini nggak beretika, nggak bisa menghargai orang lain, atau mungkin nggak bisa menilai kebaikanku. Padahal, bisa aja orang itu lupa atau lagi fokus dengan hal lain. Atau bisa juga, orang itu sengaja karena ingin membalas kebaikanku di lain waktu dan menganggap ucapan terima kasih bukan satu-satunya parameter untuk menghargai orang lain. Lagi-lagi, pada saat ini dipikiranku muncul stigma kalau dalam berhubungan dengan orang lain, semua hanya tentang timbal balik.

Mengubah niat ketika akan berbuat kebaikan
Seringkali ada beberapa niat yang muncul ketika akan berbuat kebaikan: impress people - berharap dipuji, mengharapkan sesuatu dari orang lain yang dibantu, berharap menjadi pusat perhatian. Atau berniat tulus membantu orang lain, memuaskan diri sendiri, memupuk pahala dan karena sesederhana 'ingin aja'. Menurutku semua niat itu sah-sah aja dan nggak ada yang salah. Dari semua macam niatan itu, yang perlu diperhatikan adalah impact apa yang kita dapat setelah melakukan kebaikan dengan salah satu niat diantara macam niat tersebut. 

Menurut pengalamanku, ketika aku melakukan kebaikan dengan niat untuk mengesankan orang lain tapi tujuan itu nggak tercapai, aku akan merasa kebaikan yang sudah kulakukan sia-sia dan menyesal telah melakukannya. Tapi kalau tujuan untuk mengesankan orang lain itu tercapai, maka nggak bisa dipungkiri kalau muncul rasa tinggi hati. Atau ketika aku melakukan kebaikan dengan niat mengharapkan balasan dari orang lain tapi tujuan itu nggak tercapai, aku akan berperasangka buruk ke orang itu dan muncul pikiran kalau nggak mau bantu orang itu lagi. Tapi kalau tujuan itu tercapai, kedepannya aku jadi terus-terusan pakai niat tersebut ketika akan melakukan kebaikan karena berekspektasi orang lain akan membalas kebaikanku lagi. 

Tapi, rasanya beda ketika berniat melakukan kebaikan karena memang ingin tulus berbuat baik. Niat tersebut cukup sulit digunakan karena kembali lagi pada kodrat manusia sosial kalau membutuhkan penghargaan atas sesuatu yang pernah dilakukan. Solusinya, bagiku melakukan kegiatan dengan niat untuk memuaskan diri sendiri adalah pilihan yang paling tepat. Yup! nggak ada habisnya ngomongin soal kepuasan diri sendiri yang diciptakan oleh diri sendiri. Sebab melakukan kebaikan untuk memuaskan diri sendiri memiliki efek luar biasa untuk jadi bangga dan bersyukur. Bangga dalam artian bisa mencapai title orang baik pada versi diri sendiri, bersyukur dalam artian masih diberi kesempatan untuk berbuat kebaikan dalam sisa waktu hidup yang berharga. Lebih dari itu, nggak perlu lagi ngehabisin waktu dan pikiran untuk berprasangka buruk dengan menunggu balasan dari orang lain. 

Berhenti menceritakan kebaikan yang pernah dilakukan
Seringkali memang suka dengan sendirinya bercerita tentang kebaikan yang pernah kita lakukan ke lawan bicara kita. Walaupun sebenarnya, nggak ada niatan pamer sedikitpun. Tapi bisa juga menceritakan kebaikan karena mengharapkan simpati dari lawan bicara akan kebaikan yang sudah kita lakukan, sebab merasa nggak dihargai dari orang lain yang sudah dibantu sebelumnya. Mungkin nggak ada salahnya dengan kedua hal tersebut, yang salah adalah menceritakan kebaikan kita ke lawan bicara karena mengharapkan pujian. Nggak apa, tapi akan jadi kecewa sendiri kalau ternyata nggak dapat pujian yang diharapkan sebelumnya. Jadi baiknya, belajar menyimpan sendiri kebaikan yang pernah dilakukan untuk menghindari niat yang salah tersebut. 

Tentang timbal balik
Hubungan sosial adalah soal timbal balik. Tapi sayangnya, kita nggak bisa mengontrol pikiran orang untuk berpikiran yang sama ketika berinteraksi dengan kita. Kalau orang lain nggak bisa memiliki pemikiran yang sama nggak masalah, sebab yang terpenting adalah kita harus berusaha untuk selalu memiliki pemikiran soal timbal balik ke siapa saja. Menghargai kebaikan orang lain yang pernah kita terima nggak melulu soal materi yang berhagra, bisa juga dengan meluangkan waktu untuknya, menjadi teman sharing yang baik, memberi kejutan kecil seperti masakan atau kue yang kita buat, atau yang paling sederhana namun spesial adalah memberi ungkapan terima kasih yang tulus. Dalam hal ini ketika berinteraksi dengan orang lain, pemikiran timbal balik hanya berlaku 'oleh' diri kita saja. Belajar untuk berhenti menaruh ekspektasi akan timbal balik dari orang lain. Tapi kalau ternyata ada, sudah semestinya jadi banyak bersyukur. 

Tulisanku kali ini lebih tepatnya menjadi reminder untuk diriku sendiri. Buat yang sudah baca semoga bermanfaat dan yang penting tetap semangat berproses menjadi lebih baik:)

With Love, Tara. 

Oktober 04, 2020 No komentar

Jawabannya adalah karena suka. Sesederhana itu, tapi memiliki makna yang luar biasa. Ada puluhan puisi yang aku ciptakan dan ketika membaca ulang-ulang puisi-puisiku, aku jatuh cinta. Bagiku puisi bukan hanya karya fiksi saja, tapi lebih menakjubkan dari itu. 

Media berpetualangan
Aku yakin kalau setiap orang pasti punya cara untuk berpetualang dengan cara yang berbeda. Ada yang merasa berpetualang ketika naik gunung, ada juga yang berpetualang dengan cara memasak. Atau mungkin, ada yang berpetualang dari sekedar bermain game atau menonton film. Berbeda dengan orang lain, aku berpetualang dengan menulis puisi atau prosa. 

Terdengar sederhana, hanya membutuhkan pena dan buku. Walau aku lebih suka menulis puisi dengan aplikasi sediaan laptop, Microsoft Word. Mungkin bisa dikatakan puisi adalah solusi berpetualang untuk kondisi yang sekarang, dimana belum memungkinkan untuk berpetualang di dunia nyata. Aku memiliki mimpi ke suatu tempat lalu bereksplorasi informasi tentang tempat itu, kemudian aku tulis dalam puisi-puisiku. Rasanya ketika membaca puisi yang sudah kutulis, aku benar-benar berada di tempat itu. 

Kalau ilustrasi sebelumnya mengarah ke harapanku terhadap sesuatu, kadang-kadang aku juga menulis puisi berdasarkan kejadian yang sudah terjadi. Tujuannya untuk mendokumentasikan kenangan yang udah pernah tercipta, aku buat dengan bahasa sedemikian rupa agar nggak bosen ketika membacanya berulang-ulang. Lewat puisi, aku juga berpetualang di dalam kenangan-kenangan yang udah pernah terjadi. Atau sederhananya, aku bisa melampiaskan perasaan rinduku terhadap kenangan-kenangan yang aku tulis dalam puisiku. 

Teman saat jenuh
Definisi ketika lagi jenuh-jenuhnya dan ingin sendiri aja. Kalau lagi nggak mood buat menulis puisi, atau ingin lebih dari membaca puisi, aku iringi bacaan puisiku dengan melodi gitar. Nadanya mungkin nggak beraturan dan sesuka jari aja buat memetik senarnya, tapi bener-bener se-ajaib itu buat diri sendiri jadi tenang. Lebih tepatnya, puisi bisa menjadi media self healing-ku. 

Media berekspresi
Kalau dulu saat sekolah sering menulis segala keresahan hati: keluhan, kemarahan, kesedihan di buku diary, kali ini beralih ke puisi. Selain karena ketika di baca lagi bisa menghibur diri sendiri, kita juga bisa menghibur orang lain dengan ekspresi yang kita salurkan melalui puisi. Alasan lainnya, aku nggak bakat berekspresi dengan bikin quotes seperti orang-orang di twitter atau instagram sih hihihi. Yuk jadikan ekspresi yang kita ciptakan sebagai suatu karya!

Media berkarya
Berada di lingkungan perkuliahan yang sangat berbeda haluan dengan puisi membuatku kadang ragu. Bahkan mungkin di antara teman-temanku, hanya satu dua saja yang suka dengan karya ini. Kalau melihat orang-orang disekitarku berkarya sesuai bidang perkuliahanku seperti melalui karya tulis ilmiah, PKM penelitian, ikut proyek penelitian dosen, aku merasa puisi adalah karya yang nggak berarti apa-apa. Rasanya, karya yang harusnya ditekuni saat perkuliahanku adalah karya berdasarkan eksperimen, bukan karya fiksi seperti puisi. Tapi aku sadar kalau itu hanya pikiran negatifku aja. Nggak ada salahnya berkarya apapun itu selama baik dan memberi manfaat untuk diri sendiri. Bahkan akan lebih baik kalau bisa menjadi bermanfaat bagi orang lain. Aku jadi ingat kata temanku, kalau jangan beri batas dalam berkarya. Yup! aku sepakat dengan hal itu. Selama suka dan nyaman, kenapa nggak? 

Media berprestasi
Karya yang sempat buat aku ragu bahkan menjadi yang pertama membawaku menjadi juara dalam suatu kompetisi di perkuliahan ini. Lebih bahagianya lagi, beberapa karya puisi yang aku lombakan terpublikasikan pada website penyelenggara lomba dan masuk dalam buku antologi puisi bersama penulis-penulis lain. Nggak pernah terbayang sebelumnya, kalau puisiku adalah karya publikasi pertamaku. Aku semakin percaya, kalau nggak ada batasan buat berprestasi dari karya-karya yang diciptakan oleh masing-masing orang. 

Terima kasih buat temen-temen yang udah baca tulisan ini. Berkarya apapun itu nggak salah, yang salah adalah ketika kita memutuskan untuk berhenti berkarya. Aku harap, kita semua bisa terus semangat untuk mengembangkan minat kita masing-masing. Semoga bermanfaat^^

With Love, Tara. 
September 26, 2020 No komentar

Katanya, usia 20 tahun adalah gerbang menuju kehidupan orang dewasa. Bukan karena memang seperti itu adanya, tapi angka depan usia untuk pertama kalinya berganti menjadi 2. Padahal, kedewasaan nggak hanya diukur dari sekedar angka aja kan? Tapi sebagai orang yang sudah menginjak angka spesial itu, aku cukup setuju.

Gerbang menuju kedewasaan?
Mulai kerasa dari umur 18 tahun, tepatnya sejak awal kuliah. Mungkin karena lingkungan yang sudah beda dan didominasi oleh orang-orang yang menuju dewasa atau bahkan sudah dewasa. Mau gak mau, aku harus mengikuti dua pilihan. Mengikut arus lingkungan sekitar.. atau tetap dengan diriku yang sebelumnya. 

Nggak langsung instan bisa merasa dewasa, banyak proses yang dilalui. Jatuh, bangun, jatuh lagi, malu, takut, ngerasa dibenci, hilang kepercayaan diri, kosong, melihat sesuatu secara berlebihan, nangis, terpuruk berlarut-larut. Harusnya bisa bahagia, tapi tertutup dengan pemikiran-pemikiran drama yang membawa aura negatif ke diri sendiri. Dua tahun ini - terutama satu tahun terakhir, tiba-tiba kehilangan diri sendiri. Diri sendiri aja bukan jadi miliki sendiri, apalagi bisa menyadari kehadiran orang lain. Rasanya kadang butuh banget yang namanya teman, tapi tiba-tiba suka nggak toleran dengan kehadiran orang lain. Rumit, tapi bersyukur nggak pernah berada di titik menyerah. 

Mungkin proses setiap orang berbeda dan semakin kesini semakin paham kalau tugas manusia adalah melalui proses-proses itu dengan berusaha. Walaupun kadang berat dan nggak sanggup, tapi tetap harus dihadapi, kan? Kalau berbicara soal sempat ingin menyerah atau nggak, jawabannya pernah. Tapi kembali lagi dengan mimpi-mimpi yang yang pernah disusun, kembali lagi mengingat orang-orang yang setia mendoakan diri sendiri setiap malam. 

Menurut pengalamanku, aku sepakat kalau usia 20 tahun adalah gerbang menuju kedewasaan. Kalau ditanya apakah sudah merasa dewasa atau belum, jawabannya adalah belum. Masih terlalu jauh untuk dikatakan dewasa. Tapi, sedikit demi sedikit udah mulai 'paham' ketika menghadapi apapun dan siapapun. 

Belajar mengatur emosi
Hal yang paling sulit sih, menurutku. Sebenarnya dari dulu jarang marah. Kalau emosi, hanya diam dan overthinking berkepanjangan. Sekarang, mulai belajar untuk nggak suka overthinking lagi. Mulai belajar memilah, apa yang perlu dipikirkan dan apa yang perlu dilupakan. Dulu kalau ada orang yang ngomong sesuatu dan menyinggung, selalu jadi bahan pikiran semalaman. Berpikir, apa benar aku seburuk itu? apa benar aku sebodoh itu?  dan banyak asumsi-asumsi lain yang ujungnya cuma jadi toxic di pikiran sendiri. Atau mungkin setelah melakukan atau mengatakan sesuatu ke orang lain, tiba-tiba berpikir: dia sakit hati nggak ya? tadi aku salah nggak ya? dia marah nggak ya? dan ujung-ujungnya minta maaf padahal sebenarnya nggak salah apa-apa. 

Sekarang, punya pemikiran lebih ke 'ya udah, nggak papa' atau 'sabar aja, masih banyak hal lebih penting untuk dipikirkan'. Walaupun nggak semudah itu, tapi kalau udah terbiasa bakal ngefek banget. Selain karena memang seharusnya seperti itu, beban pikiran jadi berkurang, hari-hari jadi lebih tenang dan mengarah ke bisa memprioritaskan suatu hal penting untuk dipikirkan dan diselesaikan. Lebih tepatnya, nggak buang-buang waktu lagi karena hal-hal sepele yang menjadi toxic di pikiran. 

Pikiran semakin rumit
Kalau sebelumnya rumit karena hal-hal yang gak penting, kali ini pikiran dipenuhi oleh hal-hal penting yang mengarah ke masa depan. Perkuliahan, target pencapaian, mau jadi apa, rencana hidup jangka panjang adalah hal-hal yang hampir setiap hari terlintas dipikiran. Apalagi usia 20 tahun tepatnya datang ketika masuk semester 5, semester yang katanya inti dari perkuliahanku. Tugas bejibun, target-target mulai memberontak untuk dipenuhi dan rencana setelah perkuliahan yang udah harus disiapkan dari saat ini juga. Kalau dipikirkan lebih dalam bakal bikin pusing, tapi seru juga hihihi. 

Nggak hanya cukup dipikirkan, masa-masa saat ini juga dituntut untuk memulai tindakan. Satu persatu mulai dicicil untuk mencapai target-target. Sedikit capek dan kadang menguras tenaga, tapi perlahan mencoba untuk tetap enjoy dan nggak sering mengeluh lagi. Kalau dipikir-pikir, dengan mengeluh terkadang bisa jadi membuat hati lega. Tapi percuma juga kalau cuma mengeluh tanpa melakukan apa-apa. 

Memprioritaskan diri sendiri
Tapi kan nggak boleh egois? No, definisi egois dalam artian ini berbeda. Dulu, apa-apa dilakukan dengan serba 'nggak enakan' ke orang lain. Sampai-sampai karena merasa perlu banget mendahuluan orang lain, kepentingan diri sendiri jadi korbannya. Menjadi baik ke orang lain memang perlu, tapi hal itu akan menjadi suatu keharusan ketika kepentingan-kepentingan diri sendiri sudah terselesaikan. Waktu, tenaga dan pikiran kita adalah miliki kita sendiri. Absolutely, kita sendiri yang berhak mengatur itu semua. Satu yang mulai tertanam dipikiranku saat ini: kebahagiaan orang lain adalah tanggung jawab masing-masing orang, kebahagiaan diri sendiri adalah tanggung jawab diri sendiri. Kali ini mulai berhenti meletakkan ekspektasi yang tinggi kepada orang lain. Mungkin kadang pernah berharap, tapi dengan kadar sewajarnya aja. 

Huaa, nggak tau habis nulis apa. Kadang mungkin opiniku bisa benar, kadang juga bisa nggak. Semua tergantung dari cara pandang masing-masing orang sih. Tapi yang terpenting dari semuanya adalah kita harus selalu menikmati setiap proses. Hidup nggak terasa rumit ketika menginjak usia 20 tahun aja, bahkan mungkin apa yang kita rasain di masa-masa ini nggak ada apa-apanya dibandingkan tantangan-tantangan hidup yang bakal kita hadapi kedepannya. Tetap semangat dan bahagia yaaa, teruntuk kita^^

With Love, Tara. 
September 24, 2020 2 komentar
Gedung Teknik: Sebilah Kisah
Tara Nabila


Perlahan, bait-bait mimpi terukir dalam naungan alkisah—bersemi pada rumbai daun kemangi di tengah pelataran
Anggun, bak harmoni tifa yang mengalun
 
/1/ 
Sajak dari Gedung Satu
Kadang, melintasi tangga adalah sebuah prosa
yang memaksa jemari melukis indah aksara. Tak henti tersenyum, sebab angka-angka setia menyapa
 
Kadang-kadang, berguru adalah seuntai kain sutera
yang merajut sains dalam gugus binar mata. Tak henti melagu, sebab petuah-petuah insinyur setia menjaga
 
Terkadang, makalah adalah sebatang jacaranda1
yang terhimpun atas berbagai corak berharmoni girang
Walau sekilas mengukir pening—sesekali otak berkeping-keping
Tak apa, sebab tersirat berjuta makna yang menuai puing-puing cita
 
Ungkap hati: Terima kasih Dekanat, atas warna yang tercipta
 
/2/ 
Pelangi di Sudut Lantai Tiga
Sempat terpikir rangkaian musik belanda yang terindah di bumi
Namun tak lagi sama, sebab jumpa dengan parade asam dalam sebuah almari
Pun tak lupa adonan material yang bersatu membentuk elok pelangi
Juga, gerak-gerik putar pengaduk baja—membuat kornea berkilau bagai kalimaya2
 
Ungkap hati: Terima kasih Dekanat, atas media penopang mimpi-mimpi yang sempat usang

1Jenis pohon asal Amerika, bercorak warna-warni
2Jenis batu permata

Tujuan
Beberapa waktu lalu, BEM fakultasku mengadakan suatu sayembara untuk memberikan suatu karya yang berisi ungkapan terima kasih kepada dekanat. Aku tertarik mengikuti  sayembara tersebut dan memilih untuk menulis puisi. Sama sekali nggak nyangka, karyaku dipilih oleh dekanat. 

Makna
Puisi yang kutulis awalnya menggambarkan keadaan yang aku temukan di perkuliahan. Mulai dari tangga yang aku lewati setiap hari untuk ke kelas dengan semangat, tugas-tugas yang terkadang bikin pusing tapi memberi banyak manfaat dan keseruan saat praktikum di laboratorium lantai tiga. Kemudian aku tutup dengan ungkapan terima kasih kepada dekanat atas kebahagiaan yang terasa di perkuliahan.

With love, Tara. 
September 22, 2020 No komentar


Aku sepakat kalau 'pengalaman adalah guru yang paling berharga'. Bagiku, pengalaman menantang yang aku dapatkan sampai umur 20 tahun ini adalah merantau jauh dari orang tua. Tapi karena kesempatan ini, aku bersyukur. 

Dulu saat menjelang kelulusan SD, aku disarankan oleh orang tuaku untuk sekolah di luar pulau. Rumahku di Lombok dan aku didorong untuk melanjukan sekolah di Malang, Jawa Timur. Awalnya aku sangat menolak karena merasa masih sangat kecil dan belum siap untuk hidup mandiri. Tapi karena melalui berbagai diskusi dan negosiasi, akhirnya aku jadi merantau ke Malang. Sampai akhirnya tahun 2018 menjelang kelulusan SMA, aku berniat kuliah di luar Malang dan jadilah aku sekarang kuliah di Solo hihihi. Back to the question, kenapa harus merantau?

Belajar mandiri
Bagiku belajar mandiri adalah poin penting untuk survive di kehidupan selanjutnya. Awalnya belajar untuk nggak bergantung pada orang tua, selanjutnya akan terbiasa untuk nggak bergantung sama siapapun. Ketika sudah harus benar-benar lepas dari orang tua atau saat akan masuk ke dunia kerja, setidaknya kalau pernah merantau kita punya pengalaman untuk bertahan dengan cara kita sendiri. 

Saat pertama kali merantau, aku masih berumur 12 tahun. Kalau biasanya ketika butuh apapun bisa minta tolong ke orang tua, waktu itu aku harus berusaha untuk memenuhi kebutuhanku sendirian. Sebelumnya aku adalah anak yang manja dan selalu ditemani ibu kemana-mana, dan rasanya cukup sulit ketika pertama kali pindah dituntut untuk apa-apa sendiri. Pertama kalinya juga karena merantau, aku menjahit seragamku yang sempat sobek sendirian. Aku juga belajar mencuci baju, mencuci piring, menyetrika baju, membersihkan kamar dan masak walaupun cuma buat masakan sederhana. Hal-hal itu adalah pertama kalinya aku lakukan ketika sudah merantau. 

Belajar beradaptasi 
Dalam kurun 8 tahun, merantau di 2 tempat berbeda memberikan banyak pengalaman beradaptasi untukku. Kalau soal makanan aku nggak terlalu ngerasain perbedaan dengan sebelumnya, karena ibu aku sering masak masakan jawa. Pun ketika kuliah di Solo, makanannya nggak jauh beda dengan di Malang. Ada sedikit perbedaan sih, menurutku masakan di Solo lebih manis daripada masakan Malang. 

Perbedaan sederhana lain yang membuat aku harus beradaptasi adalah karakter dari penduduk lokal. Kalau di Lombok karakter orangnya kurang ramah, maka di Malang adalah sebaliknya. Aku sempet kaget sih waktu awal-awal merantau, kalau ketemu tetangga walau belum kenal itu bakal tetep nyapa. Bahkan ketika berkunjung ke kampung lain yang jelas-jelas bukan tetangga juga nyapa loh kalau ketemu. Kalau soal karakter masyarakat, Malang dan Solo hampir sama. Tapi kalau menurut pengalaman aku, masyarakat Solo lebih lemah lembut daripada Malang. Tapi aku suka, budaya ramah tamah tersebut mengarahkanku untuk menjadi lebih baik dalam bermasyarakat. 

By the way, aku juga mempelajari karakter orang dari daerah lain selain Malang dan Solo. Sebab ketika aku kuliah, teman aku sangat beragam dari berbagai wilayah Indonesia walaupun masih di dominasi oleh orang Jawa Tengah. Di perkuliahan ini aku jadi paham perbedaan karakter orang jawa, sunda, batak, dayak, melayu dan lainnya. Kalau orang jawa sebagian besar lemah lembut, sebaliknya orang sunda blak-blakan. Aku bersyukur atas perbedaan yang kutemukan, karena belajar menghadapi masing-masing karakter itu bakal berguna banget dikehidupan masa depan. Yup! hidup ini bisa jadi selalu berpindah dan menemukan lingkungan masyarakat baru lagi yang berbeda.

Mendukung Self Improvement
Kalau dari pengalamanku yang awalnya tinggal di kota kecil, kemudian pindah ke kota besar, aku merasa kalau lingkungan-lingkungan itu secara bertahap mendukung untuk self improvement. Kalau ketika masih SD nggak begitu ada ambisi buat aktif berprestasi, di SMP lumayan ngedukung buat aktif. Aku ikut kegiatan ektrakulikuler dan sedikit perlombaan di SMP walau sedikit. Saat SMA, aku ikut banyak lomba karena lingkunganku sangat mendukung untuk aktif mengkuti kompetisi. Karena itu, sejak SMA aku belajar untuk public speaking dan beropini. Nggak jauh-jauh, temen-temen sekelas aku di SMA banyak banget yang berbakat seperti menari, menyanyi, melukis, modelling, paskibraka, olahraga dan masih banyak lagi. Bahkan temen sekelas aku ada juga yang jadi duta pariwisata kabupaten. Aku yang dari awal ngerasa ngga punya bakat apapun jadi ter-trigger buat ngembangin diriku.

Kalau di SMA nemuin banyak temen-temen yang berbakat dan berprestasi karena bakat-bakatnya, di perkuliahan aku ketemu orang-orang yang aktif di banyak organisasi. Banyak dari mereka yang pinter kuliahnya, tapi juga aktif organisasi. Hal inilah yang membuat aku juga terdorong untuk belajar aktif berorganisasi. Sejak SMA selalu jatuh cinta dengan orang yang kritis berpendapat, dan senengnya bukan main karena di  perkuliahan ketemu banyak orang yang seperti itu. 

Efek dari merantau nggak melulu bisa baik, semua kembali ke diri masing-masing. Merantau ke kota besar bisa membuat berkembang atau bisa juga terjatuh karena nggak bisa pandai menjaga diri sendiri.  Pengalaman nggak selalu di dapat dengan merantau. Tapi, dunia perantauan bisa memberikan pengalaman yang berharga buat kita. Satu hal yang terpenting adalah, kita harus tetap bergerak untuk menghadapi tantangan-tantangan baru. Yuk berbagi cerita! I'm so glad if you want to share with me guys :)

With Love, Tara. 

September 21, 2020 No komentar

Self love adalah hal yang nggak asing lagi di era sekarang. Mulai dari artikel, webinar, self-development book, social media campaign berbicara soal self love. Sebagai seorang milenial yang hidup di zaman serba digital, insecurity adalah faktor terbesar yang membuatku lupa untuk mencintai diri sendiri. Terlalu banyak memperhatikan urusan orang lain, sampai-sampai nggak punya waktu untuk memperhatikan diri sendiri. 

Beberapa bulan yang lalu, ada suatu masa ketika merasa diri sendiri bukanlah sahabat lagi. Saat itu terlalu sibuk memikirkan kehidupan orang lain lalu membanding-bandingkan dengan kehidupanku. Padahal sudah jelas, cara orang menjalani hidupnya itu berbeda-beda. Baik tentang usaha yang dilakukan, privilege yang mungkin dimiliki, atau lingkungan yang membentuk hidupnya. Benar-benar sudah jelas, garis hidup setiap orang berbeda.

Aku bersyukur, aku segera disadarkan tentang hal itu. Aku mulai belajar mengapresiasi diriku sendiri dengan usaha-usaha yang kulakukan. Aku mulai belajar menghargai diriku sendiri dengan sekecil apapun pencapaian-pencapaian yang sudah aku dapatkan. Aku mulai belajar mencintai diriku sendiri dengan menjadikan diriku sebagai sahabat terbaik dalam semua situasi, saat bahagia maupun sedih. Nah, kali ini aku mau berbagi cara-cara yang aku tempuh untuk mencintai diriku.

Berhenti membandingkan diri dengan orang lain
Rasanya sulit ya melakukan ini. Sebagai mahluk sosial, semestinya kita berinteraksi dengan orang lain dan tahu sedikit atau banyak tentang kehidupannya. Nggak jauh-jauh, membandingkan diri dengan  saudara, teman dekat, atau teman organisasi adalah hal yang biasa. 

Padahal sederhana aja, seharusnya aku hanya perlu membandingkan diriku hari ini dengan kemarin. Pelan-pelan, aku mencoba melakukan itu setiap harinya. Nyatanya, nggak semudah itu. Membuat diri kita menjadi lebih baik dari kemarin membutuhkan usaha yang tinggi, padahal masih berada dalam garis kehidupan sendiri. Apalagi membandingkan diri dengan orang lain yang sudah jelas kehidupannya berbeda, pasti sangat sulit kan? Jadi, aku mulai fokus merubah diriku menjadi lebih baik saja.

Berhenti mengharapkan pengakuan dari orang lain
Ini bener-bener work sih. Sulit diterapkan, karena merupakan sifat alamiah bagi sebagian besar manusia untuk mengharapkan pengakuan dari orang lain dalam hal apapun. Suatu hal yang wajar kalau punya perasaan setiap selesai melakukan kebaikan berharap diapresiasi oleh orang lain. Selain itu, nggak jarang juga menceritakan perjuangan diri sendiri ke orang lain secara langsung maupun media sosial. Berharap untuk dipuji, atau sekedar di beri semangat. 

Awalnya aku memiliki pemikiran seperti ini. Aku ingin dipandang baik dengan orang lain karena usaha dan pencapaian yang sudah aku dapatkan. Aku juga ingin dikagumi oleh orang lain. Karena aku berpikir, dengan dikagumi aku akan menjadi dihargai. 

Perlahan, pemikiran itu berubah. Sama seperti sebelumnya, aku ingin fokus ke diriku saja. Aku nggak ingin terlalu sibuk mengharapkan pengakuan orang lain, sampai aku lupa kalau kebahagianku adalah tanggung jawab diriku sendiri. Kalau dulu suka cerita tentang rencana dan mimpi yang aku miliki, kali ini aku berusaha untuk menyimpannya sendiri walau kadang sharing dengan orang yang benar-benar dekat. Aku juga jarang membuat snap instagram tentang hidupku, dan rasanya lebih tenang. Semakin lama aku semakin paham, kalau orang lain nggak perlu tau soal hidupku. Jadi aku belajar untuk memilah-milah apa yang harus aku bagi, dan apa yang harus aku simpan. Membagi kehidupan kita ke orang lain itu nggak ada salahnya, selama hal itu bertujuan untuk memberi manfaat. Membutuhkan pengakuan orang lain itu adalah hal wajar, tapi bukan berarti seluruh aspek kehidupan kita perlu diumbar-umbar kan?

Menjadikan keberhasilan orang lain sebagai motivasi
Karena berusaha untuk nggak lagi membandingkan diri orang lain, aku mulai menjadikan keberhasilan orang lain sebagai motivasiku untuk selalu berusaha. Orang lain bisa mencapai keberhasilan yang mereka inginkan, aku  juga bisa mencapai keberhasilan yang aku inginkan. Kalau dulu sebelum mengerti, rasanya iri melihat orang lain selalu berhasil. Padahal dibalik keberhasilan mereka, bisa aja mereka mengalami banyak kegagalan. Tapi kali ini, aku mulai paham tentang hal itu. Setiap orang pasti pernah mengalami keberhasilan dan kegagalan. Hal yang terpenting adalah nggak pernah berhenti berusaha. 

Untuk belajar dari keberhasilan orang lain, aku memberanikan diri untuk bertanya pada mereka. Mereka yang pernah berhasil tentunya sudah pernah berpengalaman dari pada aku. 

Bermanfaat dengan cara yang berbeda
Dulu aku pernah berpikir dengan insecurity yang aku miliki, aku nggak memiliki manfaat apapun untuk orang lain. Bahkan untuk diriku sendiri juga nggak. Setiap membuat suatu kesalahan, aku merasa diriku nggak ada gunanya. Aku ingin menjadi manfaat seperti yang biasa orang-orang lingkungan terdekatku lakukan, tapi rasanya aku nggak bisa dan nggak bakal bisa seperti mereka. Padahal setelah aku sadar, aku juga bermanfaat bagi orang lain tapi dengan cara yang berbeda. Karena dulu aku sibuk merendahkan diriku, aku sampai nggak bisa ngelihat nilai kebaikan yang aku miliki. 

Semakin kesini, aku mulai mencari cara untuk menemukan nilai dari diriku. Sejak 3 bulan terakhir, aku mulai suka menulis. Beberapa tulisan aku bagi di blog ini. Sebagian karya aku daftarkan dalam perlombaan. Sederhana, tapi butuh perjuagan juga karena banyak godaan yang buat lengah. Sederhana, tapi bahagia rasanya bisa membagi hal bermanfaat ke orang lain. Setiap nambah satu viewer di blog ini, setiap itu juga aku bahagia dan semakin mencintai diriku. Mungkin untuk saat ini aku bisa bermanfaat dengan cara seperti ini. 

Dari sekian banyak hal yang sudah aku lakukan untuk self-love, cara ini yang paling magic. Kita akan bisa lebih mencintai diri kita dengan melihat nilai kebaikan yang kita punya dengan cara masing-masing. Aku harap aku dan temen-temen bisa selalu menghargai kebaikan yang sudah dilakukan oleh diri kita sendiri. Don't forget to apreciate our self yaaa :)

Melakukan hal yang disukai
Pasti ada masanya ketika rutinitas kuliah, organisasi, realitionship with people membuat lelah dan bahkan kesal. Karena hal itu, aku sering memanjakan diriku untuk rehat sejenak. Aku membeli makanan yang aku suka, solo-travelling untuk sekedar jalan-jalan di mall, belanja suatu barang yang sangat diinginkan atau nonton film di bioskop. Melakukan hal yang disukai tanpa kontrol memang bisa bikin lupa sama tugas yang dimiliki. Tapi nggak ada salahnya kan memanjakan diri sekali waktu di tengah kesibukan?

Menulis hal-hal bermanfaat yang sudah dilakukan setiap hari
Akhir-akhir ini, aku mulai menlis hal-hal yang sudah aku lakukan setiap hati. Awalnya berniat untuk melengkapi my journal of a day aja, tapi ternyata efeknya bisa lebih menyadarkan kalau kita sudah menjadi bermanfaat setiap harinya loh!

Aku sudah berjuang untuk self-love dengan caraku, kalau kalian? Yuk saling berbagi cerita!

With Love, Tara. 
September 17, 2020 No komentar

Merasa salah jurusan di perkuliahan adalah kata-kata yang sering kita dengar. Sebelum masuk kuliah, aku berpikir hal itu nggak akan terjadi ke aku. Ketika aku memilih jurusanku saat ini, aku merasa yakin. Tapi setelah kuliah, sejak semester awal aku mulai merasakan hal itu. Ciri awalnya, aku ngerasa nggak nyaman dan ingin pindah jurusan. Walaupun begitu, aku selalu berusaha untuk semangat ketika akan masuk ke gedung dalam foto di atas. Hihihi, kangen!

Menurut sebagian besar teman-temanku, pelajaran di teknik kimia itu sulit. Kalau ada yang berpikir bahwa teknik kimia cenderung mempelajari kimia, itu salah ya. Teknik kimia memiliki banyak mata kuliah yang berbau matematika dan fisika. Untuk itu, mau nggak mau kita harus bisa dan suka sama matematika dan fisika. Tapi sebenarnya nggak sesulit yang dibayangkan, karena banyak juga loh temen-temen aku yang nilainya selalu baik dan bisa mudah memahami materi perkuliahan. Oh ya buat kalian yang penasaran dan mau kepo soal pelajaran teknik kimia, bisa klik disini yaaa.

Awal ceritaku 
Sebelumnya, aku mau cerita gimana awalnya bisa merasa salah jurusan. Ketika semester awal, banyak banget pelajaran yang buat aku nggak paham. Aku berusaha untuk memperhatikan dosen ketika jam kuliah, tapi tetap saja nggak bisa paham sepenuhnya. Padahal kata kebanyakan kakak tingkat, pelajaran semester 1 dan 2 itu masih seperti belajar anak IPA SMA. Tapi nilai aku jatuh banget, dan benar-benar down saat itu. 

Masuk ke semester 3, pelajaran semakin sulit. Kata dosen dan kakak tingkat, semester tiga adalah gerbang menuju pelajaran-pelajaran inti di teknik kimia. Mereka benar, dan aku masih saja belum ada kemajuan. Nilai IP aku dari semester 2 ke 3 naik, tapi sangat sedikit. Ketika melihat KHS di akhir semester tiga aku nggak mau down lagi, tapi lebih mencoba buat 'pasrah'. 

Mulai ingin berubah
Bukan hal yang jarang kalau dengar mahasiswa berencana ingin berubah menjadi lebih baik setiap awal semester. Karena aku pun begitu di awal semester 4, tapi kali ini aku ingin sungguh-sungguh. Aku mengawali dengan selalu duduk di depan saat pelajaran di kelas. Benar kata Aini, teman sebangkuku, kalau kita akan bisa lebih fokus dengan pelajaran ketika duduk paling depan. Sayangnya, beberapa minggu setelah perkuliahan semester 4 terjadi pandemi Covid-19 dan pembelajaran dilakukan secara daring. 

Mulai paham penyebabnya
Separuh lebih semester 4 ku jalani secara daring. Ada suatu perbedaan yang menurutku sangat berbeda ketika luring dan daring, yaitu waktu luang. Saat perkuliahan sebelum masa pandemi, aku merasa terlalu sering memprioritaskan hal lain diluar perkuliahanku seperti kegiatan organisasi, main, dan bersantai. Selesai kegiatan organisasi, aku lebih memilih bersantai daripada belajar atau mengerjakan tugas kuliahku. And yup! pesalahan pertama yang kutemui adalah aku beum bisa mengatur waktuku untuk memprioritaskan sesuatu yang lebih penting. Kesalahan kedua, aku sangat jarang latihan soal. Kesalahan ketiga, menjelang ujian sering menggunakan sistem SKS. 

Kesalahan pertama muncul karena dari dalam diriku belum terbiasa menghadapi dua hal berbeda yang cukup menguras waktu, yaitu kuliah dan organisasi. Sebelumnya, aku belum pernah mengikuti organisasi apapun sehingga ketika SMA aku hanya fokus untuk belajar saja. Terkadang ikut kegiatan lomba, tapi tidak begitu menguras waktu dan hanya berlangsung dalam jangka waktu yang sebentar.

Kesalahan kedua dan ketiga terjadi sebagai akibat dari kesalahan pertamaku. Sama halnya dengan ujian, tugas-tugas juga sering aku kerjakan mendekati waktu pengumpulan. Padahal, tugas adalah salah satu sarana untuk berlatih dan belajar. Karena nggak jarang juga loh soal-soal ujian muncul dari tugas-tugas yang pernah diberikan dosen. 

Beradaptasi
Nggak ingin berhenti di titik 'pasrah', aku pelan-pelan mencoba beradaptasi. Waktu luang saat daring ini aku manfaatkan untuk mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh. Selain itu, aku juga mencoba tertarik dengan chemical engineering text book dengan mempelajari perlahan saat mengerjakan tugas. Belajar sendiri rasanya nggak bakal cukup di teknik kima, sehingga butuh teman-teman dekat untuk menjadi support system perkuliahanku walau kadang curhat-curhat juga. Sending virtual hug to you guys, thank you so much!

Semester 4 kemarin memberi pelajaran buatku, kalau belajar dan rajin latihan soal adalah kunci bertahan di perkuliahan ini. By the way, what I said before nggak berarti bahwa aku sudah sepenuhnya bisa paham dengan pelajaran teknik kimia. Aku masih belajar dan berusaha untuk itu. 

Mengenal teknik kimia lebih dalam
Tak kenal maka tak sayang adalah suatu pesan yang benar nyata. Mencoba mengenal lebih dalam  tentang teknik kimia membuatku menjadi takjub dan bersyukur. Sejauh ini, mempelajari alat-alat pada industri kimia dan proses didalamnya adalah satu yang membuatku jatuh cinta. Sampai saat ini, tranportasi fluida masih menjadi mata kuliah favoritku. Kalau berbicara soal masa depan, mungkin akan menjadi sangat bangga ketika menjadi 'process engineer' yang mampu mendesain dan memantau proses dalam industri dengan baik. Rasanya nggak sabar untuk melaksanakan penelitian dan kerja praktek di industri yang aku inginkan. 

Bagi yang merasa salah jurusan, terus semangat ya. Setiap jurusan pasti punya hal-hal menakjubkan yang mungkin belum ditemukan. Tugas kita adalah terus belajar dan menemukan suatu hal yang bisa membuat kita sangat bersyukur. Aku harap kalian kalian bisa cepat menemukan hal menakjubkan itu ya.

Kalau ditanya apakah aku masih merasa salah jurusan? Jawabannya adalah iya. Namun, nggak ada pilihan lain selain terus berusaha kan? Jadi doakan yaa teman-teman agar aku bisa menjadi lebih baik untuk semester ini dan seterusnya. Yuk kita sama-sama berusaha. Salam semangat dari mahasiswa teknik semester 5!

*Bonus pict - one day as college student in pandemic era :)
With Love, Tara. 
September 12, 2020 No komentar
Newer Posts
Older Posts

About

Hi, welcome to my diary :)

Label

  • Academic
  • Personal
  • Puisi
  • Random
  • Review
  • Travelling

Popular Post

  • REVIEW BEDAK DINGIN BERASTAGI ASTAGINA (MY LOVELY PUBERTY-MATE)
  • JALAN-JALAN KE TAMAN SARI YOGYAKARTA
  • MENGENAL KHASIAT MINYAK WULUNG
  • JALAN-JALAN KE ICON KOTA SELONG LOMBOK TIMUR
  • WHAT'S IN MY CAMPUS BAG? (ENGINEERING STUDENT)
  • THE BEST THING IN 2024
  • THINGS I LEARNED AFTER 2+ YEARS GRADUATION
  • ANOTHER DAY IN BANDUNG: KULINER & WISATA SEJARAH
  • SHORT TRIP IN BANDUNG, FINALLY KE KOTA IMPIAN MASA KECIL
  • REVIEW Nu Skin ageLOC GALVANIC SPA (PERAWATAN DI RUMAH ALA KLINIK)

Archive

  • ►  2025 (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2024 (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2023 (9)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2022 (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (13)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2020 (30)
    • ▼  Desember (1)
      • PEREMPUAN, KEDUDUKAN DAN BUDAYA PATRIARKI
    • ►  November (3)
      • RUMPUT LAUT DI SEPANJANG PANTAI LOMBOK
      • TENTANG KESALAHAN, PENYESALAN DAN MEMAAFKAN
      • PERNAH NGGAK SIH BERPIKIR?
    • ►  Oktober (4)
      • HAL POSITIF DARI PANDEMI COVID-19
      • TENTANG AMBISI DAN MIMPI
      • PUISI: UNTUK YANG TERSAYANG
      • MENGHARAPKAN BALASAN TERIMA KASIH
    • ►  September (9)
      • KENAPA MENULIS PUISI?
      • KETIKA MENGINJAK USIA 20 TAHUN
      • PUISI APRESIASI
      • KENAPA HARUS MERANTAU?
      • SELF LOVE
      • SEMPAT MERASA SALAH JURUSAN DI PERKULIAHAN
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (3)

Contact Me

Nama

Email *

Pesan *

Follow Us

Community



FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates